tupperware bangkrut ? apa penyebabnya ? bagaimana sejarah tupperware dari awal berdiri hingga mengajukan bangkrut ? Baca disini lengkap !
Tupperware bangkrut? Merek yang pernah menjadi simbol inovasi dalam produk rumah tangga, kini menghadapi kenyataan pahit dengan mengajukan kebangkrutan pada tahun 2024. Perusahaan yang dulunya berjaya sebagai pionir dalam wadah penyimpanan makanan kedap udara ini kini harus menghadapi utang sebesar 812 juta dolar AS (sekitar Rp 12,4 triliun). Kebangkrutan ini diajukan ke Pengadilan Kepailitan AS untuk Distrik Delaware pada Selasa, 17 September 2024, dalam upaya menjaga kekayaan intelektual dan memberi waktu 30 hari untuk menemukan pembeli potensial. Bagaimana kisah bisnis Tupperware bisa sampai pada titik ini? Mari kita lihat sejarah dan perjalanan panjang perusahaan ini.
Awal Mula: Penemuan dan Pendirian Tupperware
Sejarah Tupperware dimulai dengan seorang penemu bernama Earl Silas Tupper, yang lahir pada 28 Juli 1907 di New Hampshire, Amerika Serikat. Pada tahun 1937, Tupper mulai bekerja di DuPont, sebuah perusahaan kimia terkemuka, dan di sinilah dia mengenal bahan plastik. Tupper tertarik dengan potensi polietilena, bahan plastik ringan dan fleksibel, yang saat itu masih merupakan bahan limbah dari industri minyak.
Dengan kreativitasnya, pada tahun 1946, Tupper mengembangkan wadah penyimpanan makanan pertama yang terbuat dari plastik, yang kemudian dikenal sebagai "Tupperware." Produk ini menjadi revolusi karena dilengkapi dengan tutup kedap udara yang memungkinkan makanan tetap segar lebih lama. Fitur tutup ini terinspirasi dari sistem segel kaleng cat yang Tupper observasi selama bekerja di DuPont. Tupperware segera menjadi produk unggulan di dapur Amerika karena kepraktisan dan daya tahannya.
Namun, meski produk Tupperware inovatif, penjualannya tidak langsung sukses. Konsumen awalnya tidak memahami cara kerja tutup kedap udara tersebut. Tantangan ini berlanjut hingga seorang wanita bernama Brownie Wise muncul dan mengubah nasib Tupperware dengan pendekatan penjualan yang brilian.
Brownie Wise dan Metode Penjualan Langsung
Pada awal 1950-an, Brownie Wise, seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai penjual langsung, memperkenalkan metode "Tupperware Party." Wise menyadari bahwa produk ini perlu dijelaskan secara langsung kepada konsumen agar mereka memahami manfaatnya. Di sinilah ide Tupperware Party berkembang, di mana tuan rumah mengundang teman-teman mereka ke rumah untuk mendemonstrasikan cara kerja Tupperware dan melakukan penjualan.
Strategi ini berhasil dengan sangat baik. Penjualan langsung menciptakan suasana yang menyenangkan, di mana pembeli bisa mencoba dan merasakan produk secara langsung. Acara ini juga memungkinkan penjual untuk membangun hubungan personal dengan konsumen, yang memberikan dorongan kuat pada penjualan.
Kesuksesan metode ini membuat Brownie Wise diangkat menjadi Wakil Presiden Penjualan di Tupperware pada tahun 1951, menjadikannya wanita pertama yang menduduki posisi eksekutif senior di sebuah perusahaan besar Amerika Serikat pada masa itu. Metode penjualan langsung ini segera membawa Tupperware ke puncak kesuksesan di Amerika dan dunia internasional.
Namun, hubungan antara Earl Tupper dan Brownie Wise tidak bertahan lama. Pada tahun 1958, Tupper memecat Wise dengan alasan yang tidak jelas, meskipun banyak yang berspekulasi bahwa Tupper merasa tersaingi oleh popularitas Wise yang semakin besar. Setelah peristiwa ini, Tupper menjual perusahaannya kepada Rexall Drug Company seharga 16 juta dolar AS dan mundur dari dunia bisnis.
Masa Keemasan Tupperware
Setelah penjualan perusahaan, Tupperware memasuki periode keemasan di tahun 1960-an hingga 1980-an. Perusahaan ini menjadi simbol status bagi banyak ibu rumah tangga, terutama di negara-negara Barat. Sistem penjualan langsung yang diinisiasi oleh Brownie Wise terus berkembang dan menyebar hingga ke lebih dari 100 negara, termasuk di Eropa, Asia, dan Amerika Latin.
Produk Tupperware terus berkembang dengan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Selain wadah penyimpanan makanan, Tupperware mulai memproduksi alat-alat dapur lain seperti piring, mangkuk, dan alat pengolah makanan yang mempertahankan karakteristik utamanya: fungsional, tahan lama, dan elegan.
Acara Tupperware Party tetap populer selama beberapa dekade dan menjadi bagian dari budaya sosial, terutama di kalangan ibu rumah tangga. Perusahaan ini juga dikenal dengan model bisnisnya yang memberdayakan wanita untuk menjadi wirausaha kecil melalui penjualan langsung, memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari rumah.
Tantangan di Era Digital
Namun, memasuki abad ke-21, Tupperware mulai menghadapi tantangan serius. Pergeseran perilaku konsumen yang lebih memilih belanja daring (online) mengubah lanskap industri retail. Konsumen modern cenderung lebih memilih kemudahan berbelanja online daripada mengikuti acara penjualan langsung. Platform e-commerce seperti Amazon dan eBay menawarkan kemudahan, harga kompetitif, dan beragam produk serupa dengan Tupperware.
Selain itu, Tupperware juga menghadapi persaingan yang semakin ketat dari produk plastik serupa yang dijual dengan harga lebih murah, serta produk-produk sekali pakai yang menjadi populer karena alasan praktis. Meskipun Tupperware mencoba beradaptasi dengan memperluas penjualan melalui platform digital, hasilnya tidak cukup signifikan untuk mempertahankan bisnis pada level yang stabil.
Perubahan gaya hidup juga menjadi faktor penting. Dengan banyaknya orang yang lebih sering makan di luar rumah dan tren makanan cepat saji, kebutuhan untuk penyimpanan makanan di rumah mulai menurun. Selain itu, masalah lingkungan terkait penggunaan plastik juga semakin menekan Tupperware, meskipun produk mereka dikenal tahan lama dan dapat digunakan berkali-kali.
Kebangkrutan dan Utang Besar
Pada akhirnya, kombinasi dari penurunan penjualan, beban utang yang terus meningkat, serta kegagalan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar membuat Tupperware harus menghadapi kenyataan pahit. Pada Selasa, 17 September 2024, Tupperware resmi mengajukan kebangkrutan dengan utang yang mencapai 812 juta dolar AS (sekitar Rp 12,4 triliun). Perusahaan ini mengajukan perlindungan kebangkrutan untuk menjaga kekayaan intelektual mereka dan berharap dapat menemukan pembeli potensial dalam waktu 30 hari ke depan.
Dalam pernyataan resminya, Tupperware menyatakan bahwa mereka optimis akan menemukan pembeli atau investor yang tertarik dengan kekayaan intelektual dan warisan merek mereka yang kuat. Namun, dengan kondisi pasar yang kompetitif dan beban utang yang besar, masa depan perusahaan ini tetap tidak pasti.
Masa Depan Tupperware: Harapan atau Akhir?
Pengajuan kebangkrutan ini menandai titik balik dalam sejarah Tupperware. Perusahaan yang pernah menjadi ikon dalam industri rumah tangga kini menghadapi ancaman pembubaran. Namun, Tupperware masih memiliki nilai sebagai merek yang sudah dikenal secara global, dan produk-produknya masih diakui kualitasnya.
Proses kebangkrutan memberi Tupperware kesempatan untuk menata ulang struktur perusahaan, menyesuaikan model bisnis, dan mungkin menemukan jalan keluar melalui akuisisi atau restrukturisasi utang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ada pihak yang tertarik untuk mengambil alih perusahaan dengan beban utang yang besar atau apakah ini akan menjadi akhir dari salah satu nama paling terkenal dalam sejarah produk rumah tangga.
Terlepas dari hasil akhirnya, Tupperware telah meninggalkan warisan yang tak ternilai dalam dunia bisnis. Dari inovasi tutup kedap udara hingga sistem penjualan langsung yang merevolusi cara produk rumah tangga dijual, Tupperware telah mempengaruhi cara kita menyimpan makanan dan cara perusahaan berinteraksi dengan konsumen selama beberapa dekade. Warisannya mungkin akan tetap hidup, bahkan jika bisnisnya tidak.
COMMENTS